21 Desember 2010

Perempuan Perantau, Perantau Pisau

Yang paling menyedihkan jadi perantau adalah ketika rindu dan sakit. Ketika rindu, hanya bisa mendengar suara dan memandangi potret yang hilang derit. Ketika sakit, senantiasa berdoa: Tuhan, jangan belit nyawaku di kota orang.

Entah kenapa jika membaca, menulis, mendengar, dan menyebut kata Ibu, saya terharu, gemetar, dan menitiskan air mata.

Aku yang diterbangkan angin nasib seolah memanggul kayu di pundak. Kutempuh jauh jarak dengan merangkak, memunguti butir-butir cahaya yang jatuh dari langit ketujuh.

Dulu aku pernah mengunduh bintang dan matahari untuk Ibu. Tapi jemariku melepuh, jemariku beranak pinak jadi dua puluh. Lalu Ibu memegang jemariku dan berkata, "Sudahlah nduk, tak usah susah unduh bintang dan matahari untuk Ibu. Cukup kau kecup peluh Ibu."

Dalam jaga dan tidurku, aku melihatmu, Ibu, menunggu kepulanganku di beranda rumah smabil mengasah pisau. Pisau buat menyembelih leher liat rindu. Jangan membawa keranda dalam kepulanganmu.

Ibu, sunyi-sunyi gesekan pisau dan batu asah itu seolah menujah-nujahku. Darah yang bersimbah di lantai kamarku menguapkan aroma daun pandan tubuhmu, wangi santan kelapa rambutmu, harum kesturi mulutmu.

Anakku, jika kau telah tiba, pisau ini akan menyayat urat nadi. Sejak pagi sampai malam hari ia menanti Ibu lelap. Ia membuka pelan-pelan pintu kamar. Mengendap-ngendap dengan mata lapar. Tapi tiba-tiba Ibu terbangun. Dan meletakkan kembali pisau di dapur.

Tidakkah kau seperti aku? Diliputi bayang-bayang di genang kenang. Serupa langit memanggil cahaya: Ibu.
Aku rindu engkau, Ibu.
Kalau engkau mata air, akulah air matamu yang mengalir.
Engkau mata air yang tak henti aku timba, kukuras untuk keperluan sehari-hari: mandi dan mencuci, minum dan memasak lukaku, membasuh bebuahan dan sayur mayur, berwudlu, juga untuk memandikanmu kelak kala engkau meninggal. Itulah mata airmu, Ibu. Dan jika aku meninggal, kumandikan jasadku dengan air mataku sendiri.

Akulah air matamu. Air mata yang kualirkan untuk cinta yang tak kuasa kubalas, tak kuasa kubayar dengan segala yang ada dalam tas. AIr mata yang kutumpahkan saat mengingatmu, yang tertawa bahagia melihatku dulu.

Kau melahirkanku dengan senyum, berharap aku menjadi bunga yang harum. Jika kau petani, kau harapkan aku jadi menteri pertanian. Jika kau buruh cuci, kau harapkan aku jadi juragan. Jika kau pelacur, kau harapkan aku jadi gubernur. Jika kau pengemis, kau harapkan aku jadi dermawan yang manis. Jika kau penjual kayu di pasar, kau harapkan aku jadi saudagar. Jika kau guru, kau harapkan aku jadi mahaguru. Jika kau sinden, kau harapkan aku jadi presiden.

Kau besarkan aku dengan air susumu sampai dadamu tipis dan air susumu habis. Kau tetap menyusuiku dengan air mata yang kauadon dengan embun pagi. Dan jika air matamu kemarau, kau berlari-lari mencari mata air di celah-celah bebatuan, di sela-sela akar kayu, di sempit dedaunan, di selebar langit. Kau tak menjerit saat tubuhmu melepuh oleh terik matahari, kakimu tertusuk duri, tersandung batu, tertembus kerikil tajam, tergores ilalang. Kau tetap menerjang setiap penghalang. Luka dan duka kau bawa berlari. Pedih dan perih kau rasakan sendiri. Kau masih mencari secangkir, sekendi, segentong air untuk menghapus hausku.

Kukenang bagaimana Siti Hajar berlari-lari mencari setetes air dari Bukit Shofa ke Marwa tujuh kali putaran. Ia sabar dengan cuaca kasar demi buah hatinya, Ismail. Ia tak peduli kaki tertembus kerikil. Ia tetap melangkah dalam lelah dan peluh yang luluh. Sampai Ia peroleh mata air dari jemari Ismail yang mungil.

Di mana ada kemauan, pasti tersedia jalan. Itulah sabda yang ingin kau tanamkan dalam dadaku. Semua keinginan akan terpenuhi jika ada kemauan. Segala harapan akan tergapai jika ada kemauan. Setiap impian akan terwujud jika ada kemauan. Bermacam cita-cita akan tergenggam jika ada kemauan. Kemauan adalah pintu menuju kajayaan. Kemauan adalah jendela menuju kemakmuran. Tiada kemauan, tiada kemenangan. Tiada kemauan berarti gagal total sebelum melangkah. Kemauan adalah modal awal untuk menapak menuju puncak. Kemauan adalah cahaya dalam gelap gulita. Kemauan adalah separuh kesuksesan.

Setiap pagi kau tuang secangkir cinta, segelas kasih, semangkuk sayang ke dalam mulutku. Sebagai bekal mengail ikan-ikan di sungai kehidupan.

Setiap siang kau menjelma serimbun pohon. Kau memayungiku dari sengat api matahari. Rimbun daunmu menenduhkan tubuhku. Buahmu mengeyangkan perut laparku. Tubuhmu berpeluh, tubuhmu melepuh. Dan aku tertidur pulas dikipasi angin semilir. Peluhmu mengalir. Mengalir dan mengalir.

Kala malam kau tambal robekan perjalananku. Kau jahit luka-luka di sekujur tubuhku. Luka itu mendewasakanmu. Kau basuh dukaku yang basah dan kau balut dengan munajat doa-doa berkah. Doa itu meng'ada'kanmu. Kau letakkan kepalaku di pangkuanmu. Lalu kau selimuti aku dengan bacaan ayat-ayatNya. Aku tidur mendengkur. Terlelaplah aku. Dan kau berjaga-jaga denga tegap dari serangan nyamuk-nyamuk terkutuk.

Ketika subuh kau mengunduh embun di rerimbun daun. Menampungnya ke dalam cangkir-cangkir. Lalu kau alirkan ke mulut hausku. Dam kau minum air mata dan keringat yang melekat di tubuhmu.

Kapan kau tidur, Ibu?? Maafkan anakmu yang belum mampu menjadi kasur dengkurmu.
Ibu memberi nasi, juga menyemai padi.
Ibu lahir, melahirkan dan membesarkan anak-anaknya dengan susah bertambah susah. Mari kita lihat ibu kita. Pagi-pagi buta ia bangun. Menanak nasi. Membangunkanmu. Memandikamu. Menyuapimu. Mengantarmu ke sekolah. Mencium kedua pipimu. Lalu memikul kayu menuju pasar. Ditukarnya dengan beras dan bebuahan segar.

Kau besar. Tegakah kau menamparnya, menghardiknya, melemparnya ke panti jompo? Relakah ibumu menderita, sengsara, dan menyikut sekeping kedermawanan dari tangan iba manusia? Tegakah? Relakah??

Ibu, jika kau tega, robek mulutku.
Mulut yang membuat air susumu surut.
Ibu, jika kau tega, koyak perutku.
Perut yang membuat tubuhmu susut.
Ibu, jika kau tega, tusuk dagingku.
Daging yang membuat kulitmu keriput.

Kutuk aku jadi batu, Ibu.
Jika itu sebagai bukti baktiku kepadamu.
Kutuk aku jadi batu, Ibu.
Jika itu sebagai jalan menuju surga di telapak kakimu.
Kutuk aku jadi batu, Ibu.
Jika itu satu-satunya syarat mencuci dosa-dosaku padamu.
Kutuk aku jadi batu, Ibu.
Demi hatimu yang tak henti kusakiti.
Kutuk aku jadi batu, Ibu.
Demi mata air air matamu yang selalu kukuras.
Kutuk aku jadi batu, Ibu.
Demi membayar hutang-hutang tunas kasihmu yang tak kuasa kubayar lunas.
Kutuk aku jadi batu, Ibu.
Demi mantra-mantra dan doa-doa yang kau langitkan.
Kutuk aku jadi batu, Ibu.
Aku tak tahu bagaimana cara mencintaimu.
Kutuk aku jadi batu, Ibu.

Aku ragu dengan segala yang kumiliki dalam membahagiakanmu.

Layak kuproyeksikan Ibu bagai sebatang tebu. Tebu itu kita kupas, kita kerat, kita peras. Ibu hanya menerima luka, sedang kita menikmati gula.

Jelas kulukiskan Ibu seperti bumi. Bumi itu terhampar ikhlas. Bumi sebagai wadah untuk menaruh benih-benih yang kiya muai. Bumi sebagai lahan untuk menanam bibit-bibit tanaman yang kita ingini. Bumi yang tabah terhadap cuaca yang marah. Bumi yang sabar terhadap perlakuan kasar. Bumi yang tergar terhadap musim yang gegar.

Benih-benih pun tumbuh. Ada yang jadi bunga, duri, ilalang. Namun semua kau asuh. Tak ada dari mereka yang kau lebihkan dan kau sisihkan. Anak-anakmu dapat jatah yang sama. Terkadang anak-anakmu nakal dan usil mengambil jatahmu. Kau tak marah walau anak-anakmu suka bikin ulah. Anak-anakmu tertusuk onak duri, kakimu yang berdarah. Anak-anakmu dipeluk bahagia, pelupuk matamu mengalirkan air mata.

Ketika anak-anakmu sudah besar pun tetap menjadi benalu. Benalu yang tak punya malu. Menggerogoti tubuh rapuhmu. Memeloroti kasih ringkihmu. Menguliti daging doa lunglaimu. Kau tabah dan tak mengusir anak-anakmu. Malah menyisir rambut-rambut kusut anak-anakmu.

Ibu, berdosakah jika ada anak yang ingin mengawinimu? Seperti Sangkuriang kepada Dayang Sumbi? Mungkin itu salah satu cara mencintaimu? Ibu, berdoakah jika ada anak membunuhmu karena ingin mengakhiri penderitaanmu? Ibu, berdosakah, berdosakah, berdosakah??

Beribu kali aku menyakiti Ibu, sejuta kali Ibu mengampuni. Beribu kali aku membenci Ibu, sejuta kali Ibu mencintai. Seribu kali aku menyengsarakan Ibu, sejuta kali Ibu membahagiakanku. Ibu begitu rela dengan segala kelakuan anak-anaknya. Ibu menerima segalan yang menimpanya. Dialah yang lebih dulu bersedih kala aku tertindih duka. Dialah yang lebih dulu bersedih kala aku tertatih-tatih letih menyapih luka. Dialah yang lebih dulu berdarah kala aku jatuh. Dialah yang lebih dulu menanggung malu kala aku berbuat dosa. Ibulah yang lebih tahu akan riak ombak kegundahanku.

Aku mengisak. Jemariku menari menulis sajak. Ibulah guru sajak. Sejak kecil aku diajari mengabadikan yang retak. Ambil pensil dan tulis tangismu, nak.

Sajak adalah tungku Ibu
Tanak sesak jadi enak
Kayu mengabu, ajak aku pada debu

Sejak kanak menulis sajak
Kelak bijak bajak tangis dan koyak

Sesak selayak onak
Jadikan sajak sabagai sanak
Sejenak jenaka membagi semak

Oh hidup tak seindah kecupan pertama
Pohon roboh dibelai angin lembut.
Oh hidup tak seelok pinggul gadis
Pundak retak memanggul sepikul kabut..

- SELAMAT HARI IBU, Ummiku Tercinta -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar